Vedroziete theGREATlittle

this blog is miniature of my HEART, the book story of my LIFE.

Teknik Pembuatan Gerabah yang unik di Klaten, Jawa Tengah.


Tulisan ini bermula dari rasa penasaran saya setelah berdiskusi singkat dengan Pak Arief Rahmawan, guru bahasa Indonesia saya sewaktu SMA. Dalam diskusi singkat di Kalioso, Karanganyar tempat beliau bersama keluarga kecilnya tinggal, beliau menceritakan tentang seorang peneliti dari Jepang yang rela menghabiskan waktunya tinggal di daerah Klaten untuk meneliti gerabah di daerah Bayat. Peneliti dari Jepang ini bahkan rela memberikan sumbangan dana demi didirikannya museum gerabah di Bayat, cerita singkat beliau kepada saya.

Sesuatu hal yang membuat saya terus bertanya adalah mengapa gerabah Bayat yang menarik orang Jepang itu bukan gerabah Kasongan yang sudah terkenal? Pak Arief hanya menjawab, menurut berita yang beliau baca gerabah Bayat mempunyai bentuk yang unik dan dibuat menggunakan alat yang sudah modern dari pada gerabah lain. Sayangnya jawaban Pak Arief, begitu saya biasa memanggilnya, belum sepenuhnya menjawab rasa keingintahuan saya. Karena sebenarnya tujuan beliau dalam menceritakan hal ini adalah memotivasi jiwa meneliti saya. Meneliti tak harus muluk-muluk,meneliti lah dari hal yang kecil. Jangan sampai kita mengabaikan hal-hal kecil di sekitar kita, justru hal kecil ini lah sebuah karya bermula. Menliti lah dari apa yang ada di sekitarmu, apa yang dekat denganmu dan apa yang menarik hatimu.

Keingintahuan saya tentang gerabah bayat semakin membesar. Selain tentang hal-hal yang mendasari peneliti jepang itu, juga karena daerah Bayat, Klaten yang masih dalam karesidenan Surakarta, dan backrground seni/budaya yang melekat dalam gerabah itu sendiri. Berharap saya bisa menemukan dan membaca hasil penelitian orang jepang itu untuk menjawab rasa ingin tahu yang kian membuncah, namun membongkar gudang pustaka ‘mbah’ Google tidak lah cukup. Sampai saat ini hanya tulisan-tulisan di web dan media lah yang menjadi sumber pengetahuan saya tentang gerabah Bayat. Sedangkan, pengamatan secara langsung di daerah Bayat menjadi kegiatan yang segera diagendakan untuk menambah ilmu dan pengetahuan tentang gerabah yang katanya memiliki bentuk unik itu.

Sejarah gerabah di daerah ini menurut masyarakat tidak lepas kaitannya dengan kedatangan Sunan Pandanaran kala itu. Sunan Pandanaran yang kemudian dikenal juga sebagai Sunan Bayat ini diutus untuk mengembara dan menyebarkan ajaran agama islam di daerah selatan. Di desa Melikan ini lah beliau mendirikan sebuah mushola yang dilengkapi dengan wadah penampung air terbuat dari tanah liat yang diberi nama genthong. Dari sini lah, kemudian sang Sunan mengajarkan masyarakat membuat gerabah di samping mengajarkan agama islam.

Teknik yang digunakan pada jaman itu adalah teknik putaran miring. Karena para pengrajin gerabah didominasi oleh kaum perempuan yang mengenakan jarik sedangkan kaum laki-laki bertugas mencari tanah liat, maka Sunan Bayat meminta agar tatakan gerabah dibuat miring. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan nilai etika, Sunan Bayat melihat  kekurangpantasan ketika seorang perempuan ikut memutar gerabah dengan dengan kaki mengangkang  seperti perajin laki-laki. Adat Jawa memberi petuah bahwa perempuan Jawa tidak boleh duduk dalam posisi mengangkang. Tidak sopan. Maka teknik putaran miring menjadi pilihan tepat agar para  perempuan tetap bisa membuat gerabah tanpa harus melanggar aturan adat. Sayangnya, tidak banyak masyarakat sekarang yang tau akan sejarah putaran miring ini. Kebanyakan masyarakat hanya mengikut kebiasaan saja, bahwa tatakan miring untuk perempuan sedangkan tatakan datar untuk laki-laki. Teknik gerabah putaran miring. Posisi tatakan tidak sejajar dengan permukaan tanah, melainkan miring sekitar 45 derajad. Selain itu cara duduk pengrajin serong tidak menghadap lurus ke depan.

Sejatinya, teknik putaran miring memiliki beberapa keunggulan. Teknik putaran miring memudahkan tanah liat yang akan dibentuk untuk melebar karena adanya gaya gravitasi sehingga produk dapat dibuat dengan mudah dan cepat tanpa mengeluarkan tenaga yang lebih seperti pada teknik putaran datar. Untuk membuat satu produk gerabah dengan menggunakan putaran miring diperlukan waktu sekitar 3-5 menit tergantung tingkat kesulitannya.
source: solopos.com

Teknik putaran miring inilah yang akhirnya menarik perhatian seorang peneliti dari Jepang. Ia adalah Chitaru Kawasaki, seorang profesor dari Universitas Kyoto Seika, Jepang. Pada 1994, ia datang ke desa Melikan untuk meneliti gerabah dengan teknik putaran miring. Sang professor yang merupakn ketua jurusan keramik di Universitasnya itu mengaku tertarik dikarenakan teknik putaran miring tidak ada di daerah lain di dunia dan hanya ada di Klaten. Selain meneliti, Kawasaki juga memberikan sumbangan untuk didirikannya Gedung Pusat Keramik Putaran Miring di desa tersebut, yang kemudian diresmikan pada tahun 2005. Pengembangan teknik dan desain gerabah pun ia bagi kepada masyarakat sekitar. Setelah masa tinggal di Indonesia habis, Kawasaki pun kembali ke Jepang. Namun, kerjasama tidak berhenti begitu saja. Ia masih sering membimbing para pelajar dari SMK 1 ROTA, Bayat dalam mempelajari gerabah dan keramik, baik melalui undangan untuk para pelajar belajar di Jepang maupun datang ke sekolah sebagai guru tamu, karena di sekolah ini terdapat jurusan keramik.

Gedung Pusat Keramik Putaran Miring yang dulunya diberi nama Laboratorium Pusat Pelestarian Budaya Keramik Putaran Miring kini dibuka untuk umum. Pengunjung dikenakan biaya retribusi sebesar Rp 10.000-Rp.12.000 lengkap dengan fasilitas. Diantaranya, pengunjung bisa melihat secara langsung proses pembuatan gerabah dengan teknik putaran miring dari awal sampai akhir. Mereka juga bisa mencoba ikut membuat gerabah, dan hasil karyanya boleh dibawa pulang. Rasanya ingin segera berkunjung ke sana. Selain untuk wisata edukasi, mungkin juga bisa sebagai tempat penelitian para mahasiswa jurusan seni kerajinan. Terlebih lagi mungkin teman-teman dari jurusan pendidikan seni kerajinan ada yang tertantang untuk praktik mengajar di SMK 1 ROTA. :D

0 komentar: